Selasa, 29 September 2009

RESENSI ARTIKEL NASSER KARYA D. ZAWAWI IMRON



RESENSI ARTIKEL

NASSER KARYA D. ZAWAWI IMRON

Setelah saya baca dari salah satu pandangan budayawan atau salah seorang tokoh budayawan yang terkenal menasionalis . dan ia juga merupakah salah seorang tokoh madura yang mencuat namanya melalui aksi budayanya yaitu D. Zawawi Imron. Beliau mengatakan “ketika orang Indonesia yang berkunjung ke Kaero Mesir, konon dianggap belum sempurna kalau tidak makan burung dara goreng di tepian Sungai Nil. Bagi orang tidak suka burung dara seperti saya, memandang permuakaan Sungai nil yang berpendar-pendar oleh baying-banyang lampu dari rumah-rumah dan jalan-jalan diseberang sungai pada malam hari , sudah merasa terhibur.” .

Namun pandangan seorang budayawan dan orang bukan budayawan atau orang yang hanya senang berkunjung atau berwisata kesuatu daerah, akan beda dalam sudut pandangnya soalnya apa? Jika seorang wisatawan umum ia haya akan merasakan terbatas pada makannya , atau kecantikan orang orangnya tetapi seorang budayawan seperti Zawawi berkunjung ke Mesir, ia sangat tertarik pada foto salah satu tokoh Mesir yang bernama Gamal Abdel Nasser . Ia pernah menggulingkan Raja Farouk pada tahun 1952 dan membuat Mesir menjadi sebuah republik, dan pada tahun 1956 ia menjadi perdana mentri sekaligus presiden Mesir. Saat itu Mesir sering terlibat dalam kancah peperangan. Kepemimpoinan Nasser sangat dihormati oleh mayoritas rakyat Mesir yang berhaluan progresif karena garis yang ditempuh dianggap memberi martabat dan harapan bagi masa depan kemajuan Mesir. Dan kecintaan rakyat mesir kepada Nasser itu terjadi pada 1967. yaitu ketika terjadi perang Arab (termasuk Mesir) melawan Israel yang berlangsung selama 6 hari membuat pasukan arab yang dipimpin Nasser menderita kekalahan. Nasser sadar akan jabatannya. Tetapi pengunduran Nasser di tolak oleh dewan Nasional Messer. Bukan hanya itu , rakyat mesir berbondong-bondong memenuhi istana dan memenuhi jalan-jalan di kota Kairo menyatakan menolak pengunduran Nasser. Rakyat Mesir tetap iangin dipimpin oleh Nasser. Pada akhirnya, Nasser tidak bias menolak permintaan rakyatnya, ia tetap memimpin Mesir. Dan menjadi presiden sampai mengakhiri hidupnya pada tahun 1970.

Kisah ini patut untuk dikenang dan cipta, dirasa serat dijadikan karsa, ada suatu pepatah Melayu yang berbuyi” Raja adil raja disembah, raja lalaim raja disanggah”. Cuman yang menarik dari cerita tersebut adalah rasa tanggung jawab Nasser yang mendalam sehingga secara jantan dia bersedia mengundurkan diri. Itu artinya , Ia mengakui kesalahan dan kegagalannya sendiri , dan merupakan sikap ksatria yang langka dimiliki para pemimpin saat ini. Hanya pemimpin yang mempuyai kecerdasan emosional yang mendalam dan mempuyai sikap intripeksi yang jernih serta puya kejujuran yang mampu untuk melakukannya.

Kalau dilihat dari sudut budaya atau bertumpu pada landasan budaya, adaya prilaku dan kesadaran untuk mengakui kesalahn dan kegagalan diri sendiri secara jujur dari seorang pemimpin bangsa yang besar seperti Mesir adalah merupakan sesuatu yang dapat menggetarkan dada dan kagum akan kejujurannya. Jadi tidak salah jika ada salah satu tokoh dalam bukunya yang berjudul teori budaya menuliskan “peran sturtur social sebagai penentu[1]”, untuk menentukan maju tidaknya suatu negara. Sehingga dengan demikian maka wujud Nasser pada saat pergulatan politik di negara kita Indonesia saat ini, perlu untuk diwujudkan dan ditampakkan sehingga terwujud suatu budaya jujur, tegas dan kesatria. Hal; ini akan dapat di tumbuh kembangkan dengan cara mewujudkan aktivitas dan tindakan sosial atau kemasyarakatan yang jujur dan tegas sebagai mana Nasser di Mesir. Asal kita mau bergerak bersama dan melakukannya insa allah akan berhasil untuk merubah kebudayaan yang sudah rusak saaat ini, karena “Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat[2], sedangkan tindakan dan pola manusia bias dirubah sesuai dengan pendidikan. Sehingga dengan demikian maka budaya akan juga mudah di rubah dengan pendidikan.

Wasliyatul Farihah.



[1] Robert A. Manner, Teori Budaya, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm, 149.

[2] Kuentjaraningrat, Pengantar Ilmu Sosiologi,(Jakarta, Reneka cipta, 2002) hlm., 187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar